(2014,Tahun Politik Indonesia. Ini adalah Project saya dalam Reuse Art A4 drawing series)
‘EPIGON TAHTA’ mencatat kejadian politik seperti catatan harian seukuran A4 dari bahan seadanya/reuse/bekas. Kejadian-kejadian politis ini begitu mengenaskan&melecehkan logika rakyat umumnya (seniman sendiri khususnya) sehingga perlu diabadikan dalam gambar laiknya ‘public surveillance’. Hal ini dikarenakan, kita begitu mudahnya dilemparkan dari berita ke berita lain. Lalu dibuat melupakan.
‘EPIGON TAHTA’ mencatat kejadian politik seperti catatan harian seukuran A4 dari bahan seadanya/reuse/bekas. Kejadian-kejadian politis ini begitu mengenaskan&melecehkan logika rakyat umumnya (seniman sendiri khususnya) sehingga perlu diabadikan dalam gambar laiknya ‘public surveillance’. Hal ini dikarenakan, kita begitu mudahnya dilemparkan dari berita ke berita lain. Lalu dibuat melupakan.
Epigon Tahta
bermakna membebek pada kekuasaan. Semakin meruyaknya penyelenggara Negara dan
calon yang tidak berkomitmen, kompeten, melecehkan logika sederhana, tidak
berNurani Indonesia, memakan uang Rakyat secara sistemik dan berjamaah (bebek).
Kesejahteraan,Kesehatan,Pendidikan unggul makin ‘blur’ dari pandang. Kinerja DPR periode ini terburuk katanya, sdh pasti berisi epigon-epigon
dengan output menukik kebawah. Sdh wataknya epigon spt bebek itu berjamaah/berkelompok.
Dalam kaidah politik, seperti ‘parpol-parpol’. Partai makin jelas sebagai puncaknya
anarki struktur korupsi. Bagi-bagi kue kekuasaan menciptakan mesin-mesin
penyedot uang Negara. Lembaga Negara (yudikatif,legislatif,eksekutif)
diperlakukan sebagai lumbung penyangga keberlangsungan parpol.
Dan korupsi spt
‘nemesis’ musuh abadi yang sulit dikalahkan, terstruktur, krn mati satu tumbuh
seribu.
Pandangan saya
cocok dengan dosen IAIN sunan Ampel ‘Masdar Hilmy’ bahwa ternyata korupsi bukanlah
kultur kita.bukan soal menghadapi dengan moral semata. Tapi aksentuasi di struktural
menempatkan korupsi atas tahta ini seperti efek domino (dialektika
struktur-agen-tindakan). Gempuran struktur bertubi-tubi akhirnya melumpuhkan
daya tahan moral individu yang baik juga yang tadinya putra-putra terbaik
bangsa. Hal ini seperti ‘black hole’. Untuk menutupnya, kata beliau, ada 2 hal:
menetralisasi konflik kepentingan dan maksimalisasi pengawasan publik. Basis
bagi-bagi kue kekuasaan diganti menjadi kompetensi. Juga,publik bisa mengawasi
yang baik/saleh/tidak baik itu rentan pada kekuasaan.
Saya percaya, nenek
moyang Nusantara kita (baik maritim atau daratan) , memiliki warisan ‘nurani’
yang tiada banding. Melahirkan
watak ramah/welas/kesenian tinggi dan budaya purba yang sedang berjalan
digali situsnya &konon fenomenal, juga limpahan kurnia sumberdaya alam yang
kian tahun incaran kapitalisme. Sudah bukan isu.
Jika, ‘Manusia
Indonesia’ dari alm.Mochtar Lubis
menyatakan watak bangsa ini
sudah rusak ‘darisono’nya dgn peringkat penelitiannya yang pertama
adalah ‘hipokrit’, maka
saya mengkritisi, tidak tepat adanya. Yang tepat, pada waktu beliau menyatakan
(tahun 70an) adalah pada suatu
era/orde yang ‘rusak’ saja dari rentang panjang bangsa ini. Lalu jika leluhur kita luhur,
kerusakan itu darimanakah datangnya?Jika dikaitkan dengan tesis Radhar
Panca Dahana, maka histori panjang imperialisme menjadi kapitalisme sdh
menggerus tatanan watak secara terstruktur dan kronis. Watak Epigon pada kapitalis:
tamak/serakah berusaha ditutupi oleh kesalehan/berlindung dibalik moral, itulah
yang melahirkan hipokrit. Hingga rentang setelah merdeka. Padahal, apakah leluhur pendahulu kita,baik purba
atau masa era pre&pra kemerdekaan spt itu? Kita perlu belajar lagi entitas watak leluhur.
Garuda-garuda
seperti pionir pendahulu kita, akhirnya hanya foto dan simbol dari belakang
meja-meja epigon tamak.Tapi, selalu ada harapan. Karna saya percaya, nurani ini (seperti GajahMada,
Soekarno muda, Hatta) muncul.Yang bervisi kebangsaan Indonesia secara luhur, akan
lahir lagi.
Bagi seniman
'indONEsia', karna seni adalah kebebasan maka setiap pelaku bisa membuat kredo
apapun (seni untuk seni, atau untuk rakyat). Bagi saya, kadang saya berkarya
dari impresi estetis personal,
tapi sekarang saat berkiprah sebagai corong pengawasan publik (public
surveillance)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar