Minggu, 24 April 2016

SELOKA BERUK

Hari ini tunai sudah. empat hari lebih saya menyelesaikan lukisan pesanan, untuk mendulang periuk dan membantu permaisuri yang tak letih naik go-jek mengajar, demi lanjut kehidupan elok permai ini.
Hanya lukisan biasa kok. Seuntai pesanan.
Lama saya tidak lagi melukis ihwal ekspresi. Mungkin karena terlalu banyak gagas, mungkin berakhir sumpek. Mungkin saya merasa ada yang tak beres jika mengeksploitasi terus kepedihan orang atas nama keindahan, tapi belum berbuat banyak buat mereka. Mungkin karena menemukan perspektif baru: pada masa demokratis ini, terkuak orang-orang yang saya kagumi dalam sosialbudaya ternyata bisa kepleset juga dalam sikap hulu-fundamental. Zaman menorehkan sejarah, para priyayi (sekarang kaum terdidik-intelektual) secara masif bisa membawa/ tempat bergantung rakyat perubahan.Tapi mereka kadung hidup nyaman. Kenyamanan kerap jadi tirai lalu pengkhianatan kebenaran. Kecuali zaman yang melahirkan Sidharta Gautama atau Gandhi atau Cokroaminoto. Yang meninggalkan istananya. mencopot gelar-gelar bangsawannya.gelar akademik.nafsu syahwat.properti.godaan.
Pak tua chomsky dalam mimpi disenjakala surya meredup, berbisik pada saya, jangan percaya pada 'heroes'! Percayalah pada ide-idenya saja.
Lalu saya mendengarkan satu lagu dari semak Belukar. Band anarko berlanggam etnik melayu yang kurang ajar. Melayu, langgam yang mencuciotak dan lidah saya sejak kecil dalam prosa. 'Beruk'adalah umpatan canda ayahanda meledek putra-putranya yang tengil. Band dari Palembang, yang membanting peralatannya disuatu konser dan menyatakan berhenti. yang katanya kini mencari nafkah untuk anak-istri saja. Olehsebab kesumpekan yang sama-mungkin.


"ayuhai putri cantik nan menggoda

masanya budak dikenakan lampin

adat diinjak budaya ternoda

semenjak beruk menjadi pemimpin

masanya budak dikenakan lampin

sembari ditimang didendangkan

semenjak beruk menjadi pemimpin

halal dan haram pun dimakan"





'Reika'.acrylic on canvas.april 2016. Private art commisioned.