Kamis, 18 Juni 2015

REMBANG


sahur pertama, 18juni2015.setahun sudah.








Pada 16 Juni kemarin, setahun genap Ibu-Ibu petani di Kendeng Utara, Rembang bertahan di tenda perjuangan, memperjuangkan gunung karst/mata aitr yang mengaliri ke sawah mereka untuk dijadikan proyek semen terbesar diAsia.  Saya mengikuti peristiwa mereka sejak hari pertama. Lukisan dan ilustrasi diatas adalah dari waktu ke waktu saya toreh. Ketika mereka di tenda, para bapak-bapak menjaga anak dan mengurus sawah. Juga ketika mereka ke kampus-kampus dan dicium tangan oleh mahasiswa-i, ke PTUN dan dicampakkan, ke gubernur yang handal bermesem-mesem, ke menteri eco, ke istana menabuh lesung dan tidak didengar.
Perjuangan mereka entah berakhir kapan. Dalam deru-derap pembangunan menggilas hakikat jatidiri yang katanya negeri agraris dan maritim.
Ini ibarat 'eco-feminism' dalam makna substantif. Perempuan petani yang bertahan untuk makan anak-cucu dan menolak jadi pabrik buruh/babu plus mempertahankan lingkungan mereka swakelola.  Seperti uraian penggagas ekofeminis pertama Francoise Eaubonne 1974: 'Le Femisinme ou la mort' bahwa inilah akibat dari modus fikir patriarki hirarkis dan opresif merusak perempuan juga alam. Bahwa selalu ada hubungan langsung antara opresi thd perempuan dan opresi terhadap alam. Sebagaimana Alam perlambangan perempuan yang asuh, lembut,pemberi dan welas asih.
Pertanyaan, bagaimana nanti jika petani sudah tidak berpengharapan bertani, sedulurku?


Le Feminisme ou la mort.
(cukilan tulisan Juma.D)
Gerakan feminis yang mengusung kesetaraan dalam menyelamatkan lingkungan disebut ekofeminisme, sebuah gerakan yang berusaha menciptakan dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan dengan berbasis feminitas/perempuan. Perempuan dianggap memainkan peran strategis dalam upaya mencegah atau setidaknya menciptakan lingkungan alam yang nyaman dan asri.
Gerakan ekofeminisme pertama kali muncul dari seorang tokoh feminis yang bernama Francoise d’Eaubonne pada tahun 1974 melalui sebuah bukunya “Le Feminisme ou Lamort”. Melalui buku itu, Francoise mencoba menggugah, mensugesti dan mengetuk hati nurani kalangan feminis untuk lebih memperhatikan alamnya yang semakin lama menunjukkan krisis berkepanjangan, tidak menemukan atau mendapatkan jalan metode penyelesaian terbaik. Padahal fenomena ini adalah tangan panjang dari ulah jail kaum maskulin yang hegemonis dan eksploitatif.
Gerakan ekofeminisme berangkat dari sebuah asumsi bahwa aksploitasi dan hegemonis- ekspansif atas alam, berparalel dengan kasus yang terjadi pada kaum perempuan. Perempuan mengalami subordinasi dalam struktur kehidupannya, baik social, ekonomi, budaya, dan politik, didobrak dengan gerakan yang menempatkan perempuan sebagai aktor utamanya. Menurut Francoise (1974) bahwa ada hubungan antara opresi yang terjadi pada perempuan dan opresi yang terjadi pada alam.
Dalam tataran ekologisnya, ekofeminisme seringkali diartikan sebagia sebuah teori dan gerakan (movement) etika lingkungan yang berusaha mendobrak etika lingkungan pada umumnya yang bersifat antroposentrisme. Dimana dimensi maskulinitas diletakkan pada posisi nomor satu di dalam pertimbangan moral dan etisnya. Disamping itu, gerakan ekofeminisme juga berusaha menggelontorkan dan mengkritik teori androsentrisme, sebuah teori lingkungan hidup yang berpusat pada kaum laki-laki. Laki-laki diletakkan sebagai pusat dari setiap pola dan system yang ada dalam kehidupan.
Dalam hal ini Karren J. Warren pada era 80-an berpendapat bahwa logika konseptual yang dibangun androsentrisme yang bertipikal menindas dan mengeksploitasi memiliki empat ciri utama: pertama berpikir tentang nilai secara hierarkis. Kedua, dualisme yang melakukan penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki-laki vs perempuan dan manusia vs alam). Ketiga, logika dominasi, yaitu struktur dan paradigma berpikir yang cenderung membenarkan dominasi dan subordinasi. Keempat, pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminis.
Logika dan filsafat antroposentrisme dan androsentrisme telah menjadikan tatanan dan system ekologis alam terancam eksistensinya. Karena kedua berangkat dari filsafat dan logika akosentrisme yang banyak menekankan dominasi, manipulasi dan eksploitasi terhadap alam. Menurut logika ini, manusia telah dididik untuk saling menjegal, saling menghegemoni dan saling jarah-menjarah. Manusia dididik hidup dalam sebuah system dimana “aku mengeksploitasi, aku merusak dan aku menjajah, maka aku ada”. Hal ini sejajar dengan hukum rimba (homo homini lupus) dimana yang kuat, yang mengeksploitasi dan yang memperkosa (alam) berarti dialah penguasanya dan dialah yang hidup. Padahal berbagai kalangan dan di dalam ajaran agama pun (termasuk islam) tidak ada yang menjustifikasi akan paradigma berpikir yang ekspansif, eksploitatif dan hegemonis, baik terhadap alam, hewan atau manusia.
Alam yang bersifat lembut, penuh kasih sayang dan pengasuhan dan pemeliharaan juga dimiliki oleh kaum perempuan. Di dalam ajaran agama (islam) bahwa al-quran telah memosisikan kaum perempuan memiliki kesamaan sifat dengan alam. Hal ini tampak dari metafor yang digunakan al-Quran, bahwa kata nisa’ (perempuan) seringkali bermain dengan kata hartsun atau ardlun (tanah atau bumi). Tetapi kali in penulis tidak mau terlalu jauh membahas dari perspektif agama, melainkan dari sudut feminitas.
Melihat fenomena alam yang terjadi, ekofeminisme akan dan telah menawarkan sebuah cara pandang yang holistik, pluralis dan inklusif yang mementingkan adanya hubungan yang seimbang (equiblirium) antara kaum laki-laki dan perempuan. Mereka sama-sama berkewajiban merawat, menjaga dan memelihara lingkungan tanpa ada tendensi untuk merusak dan mengeksploitasi alam dan ekologinya.
Lebih dari itu gerakan ekofeminisme akan berusaha menjadikan masyarakat berada dalam frame bahwa perempuan juga memiliki kemampuan untuk menjaga dan merawat kelestarian lingkungan hidup, planet dan buminya. Menurut Nina Andriana ekofeminisme melihat masalah sosial, kultural dan struktural, yang berupa dominasi yang sangat kuat dalam relasi antar kelompok manusia dan relasi dengan alam-lingkungannya yang dapat mengakibatkan banyaknya penderitaan bagi manusia sendiri, baik berupa perang ataupun kehancuran lingkungan hidupnya.
Dalam konteks ini, ekofeminisme menjanjikan harapan akan adanya jalan penyelamatan krisis ekologi yang semakin melaju kencang. Karena nuansa semangatnya di dalam menghormati hak-hak kesetaraan dan keseimbangan alam-lingkungan. Ekofeminisme juga mempertimbangkan ide-ide dan semangat kaum hawa berupa kecintaan alam dalam mengambil kebijakan dan langkah yang berhubungan dengan banyak orang. Karena selama ini kebijakan yang keluar dari budaya patriarkhat seringkali memperlihatkan tidak adanya sensitifitas terhadap ekologi. Hal ini bertentangan dengan semangat feminitas dalam logika ekofeminisme.
Satu contoh gerakan ekofeminisme yang (dianggap) telah dapat menekan laju tingkat kerusakan lingkungan adalah Satu gerakan yang pernah dilakukan perempuan Wangari Maathai dari Kenya yang kemudian mendapatkan hadiah Nobel untuk bidang ekologi, karena inisiatifnya dalam mempelopori gerakan penanaman pohon untuk seluruh perempuan di Kenya. (tropikaindonesia.com)
Gerakan penyelamatan lingkungan berbasis perempuan bukanlah sebuah utopia semata. Karena setiap individu; lelaki dan perempuan sama-sama memiliki kewajiban menyelamatkan bumi. Keterlibatan perempuan dalam gerakan ekofeminisme sangat perlu mendapatkan apresiasi dan dijadikan jalan alternatif, dalam upaya menekan laju kerusakan lingkungan beserta ekologinya
ditahun 1974 oleh Francoise d'Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la mort. Gagasan yang diusung adalah pandangan bahwa ada hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Menurut Karen J.Warren bahwa modus berpikir patriarki yang hirarkis, dualistis dan opresif telah merusak perempuan dan alam. Perempuan dinaturalisasi dengan digambarkan sebagai binatang. Sebaliknya alam difeminisasi dengan digambarkan seperti perempuan. - See more at: http://www.diskusilepas.com/2014/05/mengenal-ekofeminisme.html#sthash.3emwWaYM.dpuf

ditahun 1974 oleh Francoise d'Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la mort. Gagasan yang diusung adalah pandangan bahwa ada hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Menurut Karen J.Warren bahwa modus berpikir patriarki yang hirarkis, dualistis dan opresif telah merusak perempuan dan alam. Perempuan dinaturalisasi dengan digambarkan sebagai binatang. Sebaliknya alam difeminisasi dengan digambarkan seperti perempuan. - See more at: http://www.diskusilepas.com/2014/05/mengenal-ekofeminisme.html#sthash.3emwWaYM.dpuf
Istilah Ekofeminisme pertama diperkenalkan ditahun 1974 oleh Francoise d'Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la mort. Gagasan yang diusung adalah pandangan bahwa ada hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Menurut Karen J.Warren bahwa modus berpikir patriarki yang hirarkis, dualistis dan opresif telah merusak perempuan dan alam. Perempuan dinaturalisasi dengan digambarkan sebagai binatang. Sebaliknya alam difeminisasi dengan digambarkan seperti perempuan. - See more at: http://www.diskusilepas.com/2014/05/mengenal-ekofeminisme.html#sthash.3emwWaYM.dpuf
Istilah Ekofeminisme pertama diperkenalkan ditahun 1974 oleh Francoise d'Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la mort. Gagasan yang diusung adalah pandangan bahwa ada hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Menurut Karen J.Warren bahwa modus berpikir patriarki yang hirarkis, dualistis dan opresif telah merusak perempuan dan alam. Perempuan dinaturalisasi dengan digambarkan sebagai binatang. Sebaliknya alam difeminisasi dengan digambarkan seperti perempuan. - See more at: http://www.diskusilepas.com/2014/05/mengenal-ekofeminisme.html#sthash.3emwWaYM.dpuf
Istilah Ekofeminisme pertama diperkenalkan ditahun 1974 oleh Francoise d'Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la mort. Gagasan yang diusung adalah pandangan bahwa ada hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Menurut Karen J.Warren bahwa modus berpikir patriarki yang hirarkis, dualistis dan opresif telah merusak perempuan dan alam. Perempuan dinaturalisasi dengan digambarkan sebagai binatang. Sebaliknya alam difeminisasi dengan digambarkan seperti perempuan. - See more at: http://www.diskusilepas.com/2014/05/mengenal-ekofeminisme.html#sthash.3emwWaYM.dpuf



-19juni2015.

Selasa, 16 Juni 2015

ANG




'Ang dan Karib Sejati'
Pen/sketchbook.
(Mengenang Ang, 'yatimpiatu sosial' termaksimum.
Hilang 26 Mei. Ditemukan 10 Juni, dikubur dibawah kandang ayam,pohon pisang dan memeluk boneka di rumah sendiri. Dikebumikan di tanah asal 16 Juni, setelah terkatung-katung visum.
Drawing tentang ayam-ayam, boneka dan pohon pisang karibkerabat sejatinya)

Angeline atau Engeline? 
Kompas akhirnya menulis Engeline pada hari ini, 16juni. Diraportnya-dalam tayang media tv- saya lihat begitu namanya. Tapi, entah kenapa saya kenakan saja 'Ang' pada gambar cepat saya diatas. Nama mungkin tdk substansi.tapi apakah ia kelak jadi data statistik saja? Substansi.
Mendasar krn saya pikir, inilah definisi 'child abuse' termaksimum. Gelles,1985 kata: child abuse itu selain pukul/ siksaan fisik. Juga berarti bentuk eksploitasi anak lain: abai kasih makan atau edukasi atau abaikan kesehatan atau treatment medis atau eksploitasi pornografi. Semuanya atau dan atau, maka telah dianggap abuse anak. Kalo nyiksa lebih dari satu? ya, silahkan mikir.
Ang, memperoleh semua aniaya.

Peran negara sdh gagal lama hal ini. Menteri ybs dalam spirit proaktif-reaktif mengeluarkan hotline pengaduan nomer kontak berdigit panjang yang menyedihkan rasio. Polisi berlama-lama dalam prinsip kehatian, yang sebenarnya rakyat biasa melihatnya cukup telanjang, juga terasalah kasus perempuan dan anak hal yang terabai dibanding ketrengginasan mensikat mafia dan darurat narkoba. Pemangku negri bersibuk ria dengan perhelataan nikah anak, usainya berkacak pinggang di jalan-jalan lebar transpulau. Tidak sebetikpun, belum. Ucap prihatin saya denger.
Bagi saya yang seniman biasa dan bukan aktivis anak,ini soalan esensi.
Soalan revolusi mental mendasarkah? Saya memilih kalian di singasana karna itu, karna saya tunggu-tunggu gagasan dari hal yang paling pokok. Bukan api-api heroik dan panji agama yang kerap diplintir di bakul jualan. Ternyata kalian -seperti harapan 'kairos' saya- memang menyedihkan.

Tapi, sudahlah. Mari kita menjaga dan mengurus diri sendiri saja dan keluarga. Negara perlahan samar-samar untuk ini, hal kasat lebih aktual. Jadi, sangatlah penting solusinya menambah terus  'pengetahuan' urus/tau hak anak sebelum angkat anak atau bagi yang nikah ada anak atau mau nikah mau punya anak atau guru-guru atau dokter anak atau bisnes tempat maen anak yang banyak kini abai hak anak dan segala yang berpautsangkutan dengan anak.
Orang dewasa sangat paham hak diri dan pelecehan, marah dan galak menggugat jika dileceh.
Tapi bagaimana pengetahuan kita untuk hak si anak?

"The wounded recognized the wounded"Nora Roberts.
  -16Juni2015.

-------------------------------------------------------------------


Bocah


(Tulisan Goenawan Mohamad -secara tidak sengaja- di  caping 
pada tanggal dan kepedihan sama, 16 Juni 2015)

 Seorang bocah menggambar.  Ia bayangkan seekor ular sanca menelan utuh seekor gajah.  Dalam gambarnya, sosok gajah itu sudah tak tampak lagi. Yang kelihatan: perut si ular yang menggelembung.
Si bocah pun menunjukkan gambar itu kepada orang dewasa.
“Kau tak takut melihat ini?” tanyanya. “Kenapa harus takut melihat gambar sebuah topi?” jawab si orang dewasa.
Di situlah, sebagaimana diutarakan dalam Pangeran Kecil Antoine de Saint Exupéry, orang dewasa gagal.  Mereka tak gentar, tapi itu karena mereka tak bisa membayangkan sesuatu yang lain dari apa yang kasat mata, yang praktis dan lazim.  Mereka tak betah berbincang tentang ular yang menelan gajah di rimba yang aneh. Mereka lebih tertarik membicarakan “jembatan, dan golf, dan politik, dan dasi”.
Imajinasi telah mengering di dunia mereka — sebuah dunia yang terpisah dari kehidupan anak-anak yang berkhayal dan bermain.
Pangeran Kecil dengan lembut mengukuhkan  keterpisahan itu: di satu pihak wilayah anak dengan keasyikan dan keindahan yang tersendiri; di lain pihak dunia orang dewasa yang dibentuk teknologi, uang, dan pertarungan. Buku kecil ini sebuah kritik. Ia menjauhi kehidupan yang dikuasai rasionalitas untuk  meraih hasil. Saint Exupéry mengajak kita menyaksikan sebuah kehilangan yang bernama dunia modern. Kita tak bisa lagi mengatakan hahwa manusia tinggal di dunia secara puitis, “dichterisch wohnet der Mensch“, untuk memakai ungkapan Heidegger. Tak ada lagi padang pasir tempat kita berjumpa si pangeran kecil. Kini manusia menghuni dunia dan ia menghitung.
Beda yang tajam itu pernah dilukiskan Tagore dalam sajak terkenal ini:  “Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar mengarungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan menebarkannya kembali…”

“Menghimpun batu dan menebarkannya kembali” adalah kegiatan yang dicerca di dunia orang dewasa, dunia modern, karena tak produktif.
Tentu saja Tagore, sebagaimana Saint Exupéry,  tak hendak menyebut bahwa sebenarnya tak ada batas yang kedap antara dunia yang “mencari mutiara” dan dunia anak yang hanya bermain dengan batu dan ombak.
Terutama ketika pengertian “anak-anak” belum tergaris tegas.
Ada masa dan tempat di mana akte kelahiran tak dikenal dan orang tak menandai persis tanggal dan tahun dalam hidupnya.  Belum ada sekolah yang menentukan batas umur murid. Belum ada administrasi kota yang meminta kita mengisi formulir untuk KTP.  Di dalam lingkungan itu, perjalanan hidup manusia dari bayi hingga mati ditandai dengan  ritus:  sunat, potong gigi, pingitan, membunuh hewan buruan. Jarak antara “masa kanak” dan “akil balig”” praktis pendek atau berbatas kabur  Apa yang kini dilihat sebagai “buruh anak-anak” jangan-jangan bukan kejahatan, hanya karena tenaga kerja tak dibedakan umurnya dan semua anggota keluarga harus cari nafkah. Di daerah pertanian yang melarat, anak adalah bagian alat produksi.
Dengan kata lain, konsep  “bocah” tak datang sejak awal kehidupan sosial.  Ia  sebuah konstruksi masyarakat, sebuah sebutan yang ditemukan sesuai dengan  perkembangan sejarah.
Mungkin sebab itu  kita tak pernah melihat tokoh anak dalam wayang kulit atau golek, bahkan ketika dalang mengisahkan  lahirnya Gatotkaca.  Phillipe Ariés, yang menelaah sejarah anak-anak di Eropa, menunjukkan bahwa di sana pun sampai sekitar abad ke-12 seni rupa “tak kenal masa anak-anak dan tak mencoba menggambarkannya.”  Bayi Ismail dari Perjanjian Lama dilukiskan dengan otot perut lelaki dewasa. Bayi Yesus baru tampak sebagai bayi di abad ke-14 seni rupa Italia.
Dalam kehidupan sehari-hari, di masa itu, anak memang bukan kehadiran istimewa yang terpaut di hati.  Kematian  lumrah.  Bocah gampang datang dan pergi. Ariés mengutip Montaigne, penulis esei termashur itu:  “Aku telah kehilangan dua atau tiga anak di masa kecil mereka, bukannya tanpa sesal, tapi tanpa duka cita yang dalam.”
Baru kemudian, anak-anak mengambil posisi sentral.  Di masa lalu yang lebih miskin, ketika lampu belum ditemukan dan malam adalah jam panjang yang gelap, anak-anak tidur bersama sekamar dengan orang dewasa.  Ketika kehidupan makin baik, dan kebutuhan makin beragam,  mereka mendapatkan kamar sendiri.  Pakaian mereka tak lagi hanya miniatur pakaian orang tua. Model baju mereka lain, seperti tampak pada potret si kecil yang dipasang di mana-mana.
Sejak itu, masa depan tergaris bersama anak-anak. Kindergarten muncul di tiap sudut: persiapan ke tahap pendidikan sesudahnya. Di Indonesia, sejak kelas menengah tumbuh, majalah seperti Ayah Bunda jadi penting: yang  baru jadi orang tua butuh bimbingan untuk mengantar  buah hati mereka dari sejak awal. Di Jepang, orang tua mendera anak-anak mereka sejak usia dini agar jadi murid yang 12 tahun kemudian bisa masuk ke universitas terkemuka. Harapan dibangun dengan rasa cemas.
Maka sebuah paradoks baru muncul: ketika anak jadi makhluk spesial, mereka juga jadi proyek. Mereka disiapkan jadi  penerus orang tua, baik dalam iman maupun harta. Mereka tak  dibayangkan mandiri, sebagai pembaharu apalagi pembangkang. Masa kecil yang spontan pun hilang: si bocah  tak lagi “menghimpun batu dan menebarkannya”, melainkan sejak dini berangkat “mencari mutiara”.  Kontrol diberlakukan, dan kadang-kadang tak jelas mana bimbingan dan mana penganiayaan.

“Semua orang dewasa dulu juga anak-anak….tapi hanya sedikit yang ingat itu”
— Antoine de Saint-Exupéry, Pangeran Kecil.