Kamis, 27 Maret 2014

EPIGON TAHTA








(2014,Tahun Politik Indonesia. Ini adalah Project saya dalam Reuse Art A4 drawing series)

‘EPIGON TAHTA’ mencatat kejadian politik seperti catatan harian seukuran A4 dari bahan seadanya/reuse/bekas. Kejadian-kejadian politis ini begitu mengenaskan&melecehkan logika rakyat umumnya (seniman sendiri khususnya) sehingga perlu diabadikan dalam gambar laiknya ‘public surveillance’. Hal ini dikarenakan, kita begitu mudahnya dilemparkan dari berita ke berita lain. Lalu dibuat melupakan.

Epigon Tahta bermakna membebek pada kekuasaan. Semakin meruyaknya penyelenggara Negara dan calon yang tidak berkomitmen, kompeten, melecehkan logika sederhana, tidak berNurani Indonesia, memakan uang Rakyat secara sistemik dan berjamaah (bebek). Kesejahteraan,Kesehatan,Pendidikan unggul makin ‘blur’ dari  pandang.  Kinerja DPR periode ini terburuk katanya, sdh pasti berisi epigon-epigon dengan output menukik kebawah. Sdh wataknya epigon spt bebek itu berjamaah/berkelompok. Dalam kaidah politik, seperti ‘parpol-parpol’. Partai makin jelas sebagai puncaknya anarki struktur korupsi. Bagi-bagi kue kekuasaan menciptakan mesin-mesin penyedot uang Negara. Lembaga Negara (yudikatif,legislatif,eksekutif) diperlakukan sebagai lumbung penyangga keberlangsungan parpol.

Dan korupsi spt ‘nemesis’ musuh abadi yang sulit dikalahkan, terstruktur, krn mati satu tumbuh seribu.

Pandangan saya cocok dengan dosen IAIN sunan Ampel ‘Masdar Hilmy’ bahwa ternyata korupsi bukanlah kultur kita.bukan soal menghadapi dengan moral semata.  Tapi aksentuasi di struktural menempatkan korupsi atas tahta ini seperti efek domino (dialektika struktur-agen-tindakan). Gempuran struktur bertubi-tubi akhirnya melumpuhkan daya tahan moral individu yang baik juga yang tadinya putra-putra terbaik bangsa. Hal ini seperti ‘black hole’. Untuk menutupnya, kata beliau, ada 2 hal: menetralisasi konflik kepentingan dan maksimalisasi pengawasan publik. Basis bagi-bagi kue kekuasaan diganti menjadi kompetensi. Juga,publik bisa mengawasi yang baik/saleh/tidak baik itu rentan pada kekuasaan.

Saya percaya, nenek moyang Nusantara kita (baik maritim atau daratan) , memiliki warisan ‘nurani’ yang tiada banding. Melahirkan  watak ramah/welas/kesenian tinggi dan budaya purba yang sedang berjalan digali situsnya &konon fenomenal, juga limpahan kurnia sumberdaya alam yang kian tahun incaran kapitalisme. Sudah bukan isu.
Jika, ‘Manusia Indonesia’ dari alm.Mochtar Lubis  menyatakan watak bangsa ini  sudah rusak ‘darisono’nya dgn peringkat penelitiannya yang pertama adalah ‘hipokrit’,  maka saya mengkritisi, tidak tepat adanya. Yang tepat, pada waktu beliau menyatakan (tahun 70an)  adalah pada suatu era/orde yang ‘rusak’ saja dari rentang panjang bangsa ini. Lalu jika leluhur kita luhur, kerusakan itu darimanakah datangnya?Jika dikaitkan dengan tesis Radhar Panca Dahana, maka histori panjang imperialisme menjadi kapitalisme sdh menggerus tatanan watak secara terstruktur dan kronis. Watak Epigon pada kapitalis: tamak/serakah berusaha ditutupi oleh kesalehan/berlindung dibalik moral, itulah yang melahirkan hipokrit. Hingga rentang setelah merdeka. Padahal, apakah leluhur pendahulu kita,baik purba atau masa era pre&pra kemerdekaan spt itu? Kita perlu belajar lagi entitas watak leluhur.

Garuda-garuda seperti pionir pendahulu kita, akhirnya hanya foto dan simbol dari belakang meja-meja epigon tamak.Tapi, selalu ada harapan. Karna saya percaya, nurani  ini  (seperti GajahMada, Soekarno muda, Hatta) muncul.Yang bervisi kebangsaan Indonesia secara luhur, akan lahir lagi.
Bagi seniman 'indONEsia', karna seni adalah kebebasan maka setiap pelaku bisa membuat kredo apapun (seni untuk seni, atau untuk rakyat). Bagi saya, kadang saya berkarya dari impresi  estetis personal, tapi sekarang saat berkiprah sebagai corong pengawasan publik (public surveillance)