'Ang dan Karib Sejati'
Pen/sketchbook.
(Mengenang Ang, 'yatimpiatu sosial' termaksimum.
Hilang 26 Mei. Ditemukan 10 Juni, dikubur dibawah kandang ayam,pohon pisang dan memeluk boneka di rumah sendiri. Dikebumikan di tanah asal 16 Juni, setelah terkatung-katung visum.
Drawing tentang ayam-ayam, boneka dan pohon pisang karibkerabat sejatinya)
Angeline atau Engeline?
Kompas akhirnya menulis Engeline pada hari ini, 16juni. Diraportnya-dalam tayang media tv- saya lihat begitu namanya. Tapi, entah kenapa saya kenakan saja 'Ang' pada gambar cepat saya diatas. Nama mungkin tdk substansi.tapi apakah ia kelak jadi data statistik saja? Substansi.
Mendasar krn saya pikir, inilah definisi 'child abuse' termaksimum. Gelles,1985 kata: child abuse itu selain pukul/ siksaan fisik. Juga berarti bentuk eksploitasi anak lain: abai kasih makan atau edukasi atau abaikan kesehatan atau treatment medis atau eksploitasi pornografi. Semuanya atau dan atau, maka telah dianggap abuse anak. Kalo nyiksa lebih dari satu? ya, silahkan mikir.
Ang, memperoleh semua aniaya.
Peran negara sdh gagal lama hal ini. Menteri ybs dalam spirit proaktif-reaktif mengeluarkan hotline pengaduan nomer kontak berdigit panjang yang menyedihkan rasio. Polisi berlama-lama dalam prinsip kehatian, yang sebenarnya rakyat biasa melihatnya cukup telanjang, juga terasalah kasus perempuan dan anak hal yang terabai dibanding ketrengginasan mensikat mafia dan darurat narkoba. Pemangku negri bersibuk ria dengan perhelataan nikah anak, usainya berkacak pinggang di jalan-jalan lebar transpulau. Tidak sebetikpun, belum. Ucap prihatin saya denger.
Bagi saya yang seniman biasa dan bukan aktivis anak,ini soalan esensi.
Soalan revolusi mental mendasarkah? Saya memilih kalian di singasana karna itu, karna saya tunggu-tunggu gagasan dari hal yang paling pokok. Bukan api-api heroik dan panji agama yang kerap diplintir di bakul jualan. Ternyata kalian -seperti harapan 'kairos' saya- memang menyedihkan.
Tapi, sudahlah. Mari kita menjaga dan mengurus diri sendiri saja dan keluarga. Negara perlahan samar-samar untuk ini, hal kasat lebih aktual. Jadi, sangatlah penting solusinya menambah terus 'pengetahuan' urus/tau hak anak sebelum angkat anak atau bagi yang nikah ada anak atau mau nikah mau punya anak atau guru-guru atau dokter anak atau bisnes tempat maen anak yang banyak kini abai hak anak dan segala yang berpautsangkutan dengan anak.
Orang dewasa sangat paham hak diri dan pelecehan, marah dan galak menggugat jika dileceh.
Tapi bagaimana pengetahuan kita untuk hak si anak?
"The wounded recognized the wounded"Nora Roberts.
-16Juni2015.
-------------------------------------------------------------------
Bocah
(Tulisan Goenawan Mohamad -secara tidak sengaja- di caping
pada tanggal dan kepedihan sama, 16 Juni 2015)
Seorang bocah menggambar. Ia bayangkan seekor ular sanca menelan utuh seekor gajah. Dalam gambarnya, sosok gajah itu sudah tak tampak lagi. Yang kelihatan: perut si ular yang menggelembung.
Si bocah pun menunjukkan gambar itu kepada orang dewasa.
“Kau tak takut melihat ini?” tanyanya. “Kenapa harus takut melihat gambar sebuah topi?” jawab si orang dewasa.
Di situlah, sebagaimana diutarakan dalam Pangeran Kecil Antoine de Saint Exupéry, orang dewasa gagal. Mereka tak gentar, tapi itu karena mereka tak bisa membayangkan sesuatu yang lain dari apa yang kasat mata, yang praktis dan lazim. Mereka tak betah berbincang tentang ular yang menelan gajah di rimba yang aneh. Mereka lebih tertarik membicarakan “jembatan, dan golf, dan politik, dan dasi”.
Imajinasi telah mengering di dunia mereka — sebuah dunia yang terpisah dari kehidupan anak-anak yang berkhayal dan bermain.
Pangeran Kecil dengan lembut mengukuhkan keterpisahan itu: di satu pihak wilayah anak dengan keasyikan dan keindahan yang tersendiri; di lain pihak dunia orang dewasa yang dibentuk teknologi, uang, dan pertarungan. Buku kecil ini sebuah kritik. Ia menjauhi kehidupan yang dikuasai rasionalitas untuk meraih hasil. Saint Exupéry mengajak kita menyaksikan sebuah kehilangan yang bernama dunia modern. Kita tak bisa lagi mengatakan hahwa manusia tinggal di dunia secara puitis, “dichterisch wohnet der Mensch“, untuk memakai ungkapan Heidegger. Tak ada lagi padang pasir tempat kita berjumpa si pangeran kecil. Kini manusia menghuni dunia dan ia menghitung.
Beda yang tajam itu pernah dilukiskan Tagore dalam sajak terkenal ini: “Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar mengarungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan menebarkannya kembali…”
“Menghimpun batu dan menebarkannya kembali” adalah kegiatan yang dicerca di dunia orang dewasa, dunia modern, karena tak produktif.
Tentu saja Tagore, sebagaimana Saint Exupéry, tak hendak menyebut bahwa sebenarnya tak ada batas yang kedap antara dunia yang “mencari mutiara” dan dunia anak yang hanya bermain dengan batu dan ombak.
Terutama ketika pengertian “anak-anak” belum tergaris tegas.
Ada masa dan tempat di mana akte kelahiran tak dikenal dan orang tak menandai persis tanggal dan tahun dalam hidupnya. Belum ada sekolah yang menentukan batas umur murid. Belum ada administrasi kota yang meminta kita mengisi formulir untuk KTP. Di dalam lingkungan itu, perjalanan hidup manusia dari bayi hingga mati ditandai dengan ritus: sunat, potong gigi, pingitan, membunuh hewan buruan. Jarak antara “masa kanak” dan “akil balig”” praktis pendek atau berbatas kabur Apa yang kini dilihat sebagai “buruh anak-anak” jangan-jangan bukan kejahatan, hanya karena tenaga kerja tak dibedakan umurnya dan semua anggota keluarga harus cari nafkah. Di daerah pertanian yang melarat, anak adalah bagian alat produksi.
Dengan kata lain, konsep “bocah” tak datang sejak awal kehidupan sosial. Ia sebuah konstruksi masyarakat, sebuah sebutan yang ditemukan sesuai dengan perkembangan sejarah.
Mungkin sebab itu kita tak pernah melihat tokoh anak dalam wayang kulit atau golek, bahkan ketika dalang mengisahkan lahirnya Gatotkaca. Phillipe Ariés, yang menelaah sejarah anak-anak di Eropa, menunjukkan bahwa di sana pun sampai sekitar abad ke-12 seni rupa “tak kenal masa anak-anak dan tak mencoba menggambarkannya.” Bayi Ismail dari Perjanjian Lama dilukiskan dengan otot perut lelaki dewasa. Bayi Yesus baru tampak sebagai bayi di abad ke-14 seni rupa Italia.
Dalam kehidupan sehari-hari, di masa itu, anak memang bukan kehadiran istimewa yang terpaut di hati. Kematian lumrah. Bocah gampang datang dan pergi. Ariés mengutip Montaigne, penulis esei termashur itu: “Aku telah kehilangan dua atau tiga anak di masa kecil mereka, bukannya tanpa sesal, tapi tanpa duka cita yang dalam.”
Baru kemudian, anak-anak mengambil posisi sentral. Di masa lalu yang lebih miskin, ketika lampu belum ditemukan dan malam adalah jam panjang yang gelap, anak-anak tidur bersama sekamar dengan orang dewasa. Ketika kehidupan makin baik, dan kebutuhan makin beragam, mereka mendapatkan kamar sendiri. Pakaian mereka tak lagi hanya miniatur pakaian orang tua. Model baju mereka lain, seperti tampak pada potret si kecil yang dipasang di mana-mana.
Sejak itu, masa depan tergaris bersama anak-anak. Kindergarten muncul di tiap sudut: persiapan ke tahap pendidikan sesudahnya. Di Indonesia, sejak kelas menengah tumbuh, majalah seperti Ayah Bunda jadi penting: yang baru jadi orang tua butuh bimbingan untuk mengantar buah hati mereka dari sejak awal. Di Jepang, orang tua mendera anak-anak mereka sejak usia dini agar jadi murid yang 12 tahun kemudian bisa masuk ke universitas terkemuka. Harapan dibangun dengan rasa cemas.
Maka sebuah paradoks baru muncul: ketika anak jadi makhluk spesial, mereka juga jadi proyek. Mereka disiapkan jadi penerus orang tua, baik dalam iman maupun harta. Mereka tak dibayangkan mandiri, sebagai pembaharu apalagi pembangkang. Masa kecil yang spontan pun hilang: si bocah tak lagi “menghimpun batu dan menebarkannya”, melainkan sejak dini berangkat “mencari mutiara”. Kontrol diberlakukan, dan kadang-kadang tak jelas mana bimbingan dan mana penganiayaan.
“Semua orang dewasa dulu juga anak-anak….tapi hanya sedikit yang ingat itu”
— Antoine de Saint-Exupéry, Pangeran Kecil.
pada tanggal dan kepedihan sama, 16 Juni 2015)
Seorang bocah menggambar. Ia bayangkan seekor ular sanca menelan utuh seekor gajah. Dalam gambarnya, sosok gajah itu sudah tak tampak lagi. Yang kelihatan: perut si ular yang menggelembung.
Si bocah pun menunjukkan gambar itu kepada orang dewasa.
“Kau tak takut melihat ini?” tanyanya. “Kenapa harus takut melihat gambar sebuah topi?” jawab si orang dewasa.
Di situlah, sebagaimana diutarakan dalam Pangeran Kecil Antoine de Saint Exupéry, orang dewasa gagal. Mereka tak gentar, tapi itu karena mereka tak bisa membayangkan sesuatu yang lain dari apa yang kasat mata, yang praktis dan lazim. Mereka tak betah berbincang tentang ular yang menelan gajah di rimba yang aneh. Mereka lebih tertarik membicarakan “jembatan, dan golf, dan politik, dan dasi”.
Imajinasi telah mengering di dunia mereka — sebuah dunia yang terpisah dari kehidupan anak-anak yang berkhayal dan bermain.
Pangeran Kecil dengan lembut mengukuhkan keterpisahan itu: di satu pihak wilayah anak dengan keasyikan dan keindahan yang tersendiri; di lain pihak dunia orang dewasa yang dibentuk teknologi, uang, dan pertarungan. Buku kecil ini sebuah kritik. Ia menjauhi kehidupan yang dikuasai rasionalitas untuk meraih hasil. Saint Exupéry mengajak kita menyaksikan sebuah kehilangan yang bernama dunia modern. Kita tak bisa lagi mengatakan hahwa manusia tinggal di dunia secara puitis, “dichterisch wohnet der Mensch“, untuk memakai ungkapan Heidegger. Tak ada lagi padang pasir tempat kita berjumpa si pangeran kecil. Kini manusia menghuni dunia dan ia menghitung.
Beda yang tajam itu pernah dilukiskan Tagore dalam sajak terkenal ini: “Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar mengarungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan menebarkannya kembali…”
“Menghimpun batu dan menebarkannya kembali” adalah kegiatan yang dicerca di dunia orang dewasa, dunia modern, karena tak produktif.
Tentu saja Tagore, sebagaimana Saint Exupéry, tak hendak menyebut bahwa sebenarnya tak ada batas yang kedap antara dunia yang “mencari mutiara” dan dunia anak yang hanya bermain dengan batu dan ombak.
Terutama ketika pengertian “anak-anak” belum tergaris tegas.
Ada masa dan tempat di mana akte kelahiran tak dikenal dan orang tak menandai persis tanggal dan tahun dalam hidupnya. Belum ada sekolah yang menentukan batas umur murid. Belum ada administrasi kota yang meminta kita mengisi formulir untuk KTP. Di dalam lingkungan itu, perjalanan hidup manusia dari bayi hingga mati ditandai dengan ritus: sunat, potong gigi, pingitan, membunuh hewan buruan. Jarak antara “masa kanak” dan “akil balig”” praktis pendek atau berbatas kabur Apa yang kini dilihat sebagai “buruh anak-anak” jangan-jangan bukan kejahatan, hanya karena tenaga kerja tak dibedakan umurnya dan semua anggota keluarga harus cari nafkah. Di daerah pertanian yang melarat, anak adalah bagian alat produksi.
Dengan kata lain, konsep “bocah” tak datang sejak awal kehidupan sosial. Ia sebuah konstruksi masyarakat, sebuah sebutan yang ditemukan sesuai dengan perkembangan sejarah.
Mungkin sebab itu kita tak pernah melihat tokoh anak dalam wayang kulit atau golek, bahkan ketika dalang mengisahkan lahirnya Gatotkaca. Phillipe Ariés, yang menelaah sejarah anak-anak di Eropa, menunjukkan bahwa di sana pun sampai sekitar abad ke-12 seni rupa “tak kenal masa anak-anak dan tak mencoba menggambarkannya.” Bayi Ismail dari Perjanjian Lama dilukiskan dengan otot perut lelaki dewasa. Bayi Yesus baru tampak sebagai bayi di abad ke-14 seni rupa Italia.
Dalam kehidupan sehari-hari, di masa itu, anak memang bukan kehadiran istimewa yang terpaut di hati. Kematian lumrah. Bocah gampang datang dan pergi. Ariés mengutip Montaigne, penulis esei termashur itu: “Aku telah kehilangan dua atau tiga anak di masa kecil mereka, bukannya tanpa sesal, tapi tanpa duka cita yang dalam.”
Baru kemudian, anak-anak mengambil posisi sentral. Di masa lalu yang lebih miskin, ketika lampu belum ditemukan dan malam adalah jam panjang yang gelap, anak-anak tidur bersama sekamar dengan orang dewasa. Ketika kehidupan makin baik, dan kebutuhan makin beragam, mereka mendapatkan kamar sendiri. Pakaian mereka tak lagi hanya miniatur pakaian orang tua. Model baju mereka lain, seperti tampak pada potret si kecil yang dipasang di mana-mana.
Sejak itu, masa depan tergaris bersama anak-anak. Kindergarten muncul di tiap sudut: persiapan ke tahap pendidikan sesudahnya. Di Indonesia, sejak kelas menengah tumbuh, majalah seperti Ayah Bunda jadi penting: yang baru jadi orang tua butuh bimbingan untuk mengantar buah hati mereka dari sejak awal. Di Jepang, orang tua mendera anak-anak mereka sejak usia dini agar jadi murid yang 12 tahun kemudian bisa masuk ke universitas terkemuka. Harapan dibangun dengan rasa cemas.
Maka sebuah paradoks baru muncul: ketika anak jadi makhluk spesial, mereka juga jadi proyek. Mereka disiapkan jadi penerus orang tua, baik dalam iman maupun harta. Mereka tak dibayangkan mandiri, sebagai pembaharu apalagi pembangkang. Masa kecil yang spontan pun hilang: si bocah tak lagi “menghimpun batu dan menebarkannya”, melainkan sejak dini berangkat “mencari mutiara”. Kontrol diberlakukan, dan kadang-kadang tak jelas mana bimbingan dan mana penganiayaan.
“Semua orang dewasa dulu juga anak-anak….tapi hanya sedikit yang ingat itu”
— Antoine de Saint-Exupéry, Pangeran Kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar